Search This Blog

Sunday, February 25, 2018

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Penelitian

       Sektor keuangan, khususnya perbankan, mempunyai peranan yang sangat penting dalam kegiatan perekonomian suatu negara. Sebagai lembaga perantara keuangan (financial intermediation), bank menjalankan fungsi utamanya untuk menghimpun dan menyalurkan dana dari dan kepada masyarakat luas. Selain pelaksana fungsi intermediasi, bank juga memberikan jasa kepada masyarakat dalam lalu lintas pembayaran dengan menyediakan berbagai produk dan layanan yang beraneka ragam sehingga akan lebih memudahkan bagi masyarakat dalam melakukan transaksi keuangan. Dalam dunia ekonomi yang modern seperti sekarang ini, sulit dibayangkan kehidupan ekonomi masyarakat tanpa keberadaan bank yang pada hakikatnya mengintermediasi dana dari pemiliknya (depositors) kepada perusahaan dan orang-orang yang membutuhkannya baik untuk investasi maupun keperluan konsumtif.

       Ekonomi Indonesia yang tetap tumbuh sekitar 5% dari tahun ke tahun tidak terlepas dari peran lembaga keuangan perbankan dan tercapainya stabilitas sistem keuangan ditengah berbagai tantangan dan pengaruh perubahan ekonomi global, regional dan domestik. Pada level makro ekonomi, operasi instrumen moneter antara lain berupa penerbitan Surat Utang Negara (SUN) dan Sertifikat Bank Indonesia (SBI) melibatkan hubungan transaksi antara bank sentral dengan bank-bank umum sebagai pelaku utama (market player). Sementara pada level mikro ekonomi, bank masih menjadi sumber utama pembiayaan bagi sektor riil dalam berbagai sektor industri, perusahaan maupun perorangan walaupun ada juga alternatif sumber dana lain di pasar keuangan (financial market), seperti misalnya dari penerbitan saham dan obligasi di pasar modal (capital market) yang tampak makin berkembang.

       Saat ini industri perbankan masih mendominasi sistem keuangan nasional dengan pangsa pasar sebesar 78.10% dari total aset lembaga keuangan (OJK, SPI 2016). Hingga Desember 2016 aset perbankan bank umum konvensional dan syariahsudah mencapai Rp6.730 triliun, tumbuh 8.87% secara tahunan dengan jumlah bank umum yang ada sebanyak 116 bank (Tabel 1.1).  Selebihnya, yakni sekitar 22 persen atau sebesar Rp1.919 triliun, dipegang oleh industri keuangan non-bank (IKNB) yang dikenal sebagai Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKKB) seperti perusahaan asuransi, perusahaan pembiayaan, dana pensiun dan lembaga jasa keuangan lainnya. Sebagian dari 116 bank tersebut, yakni sejumlah 43 perusahaan, telah ‘go public’ dengan nilai pasar (market capitalization) Rp1.340 triliun atau 23.28% dari total nilai pasar saham Bursa Efek Indonesia (BEI) tahun 2016 yang berjumlah Rp5.754 triliun (Tabel 1.2).

TABEL 1.1:
Jumlah Bank dan Aset Perbankan Tahun 2012 - 2016
 Sumber: diolah dari SKKI Bank Indonesia, Juni 2017 

TABEL 1.2: 
Jumlah Bank Go Public Tahun 2012 - 2016
Sumber: diokah dari Statistik BEI 2012 - 2016 

       Mengingat begitu dominannya peran perbankan di Indonesia, dalam sektor jasa keuangan dan khususnya pasar saham (stock market), maka tercapainya kinerja bank yang baik, yaitu kondisi keuangan bank yang sehat dan kuat, secara individual maupun keseluruhan dalam sistem keuangan tentunya dapat bersama-sama meningkatkan kontribusinya dalam pertumbuhan ekonomi. Demikian pula dengan kondisi makro ekonomi yang kondusif, hal ini dapat memberikan iklim usaha yang positif terhadap perkembangan industri perbankan itu sendiri. Hal sebaliknya dapat terjadi, misalnya kesulitan likuiditas pada suatu bank besar dapat menjalar (contagion effect) ke bank-bank lain sehingga mengganggu stabilitas sistem keuangan dan perputaran roda perekonomian, yang dampaknya akan menyulitkan bagi manajemen untuk mencapai tujuan profitabilitas bank dan bahkan dapat mengancam kelangsungan hidup perusahaan akibat hilangnya kepercayaan masyarakat pada dunia perbankan. Secara sederhana dapat dikatakan, dan mungkin akan lebih mudah dipahami, dengan anologi terminologi kedokteran bahwa perusahaan perbankan yang ‘sakit’ bukan hanya membahayakan dirinya sendiri, tetapi juga orang lain (Kasmir, 2014 hal.46). Singkatnya, bahwa kesehatan suatu perekonomian saling berhubungan erat dengan kesehatan bank-bank yang ada di dalamnya (Simpson, Investopedia).

      Sejumlah regulasi, kebijakan, dan instrumen moneter yang bersifat ‘makro prudensial’ telah dibuat serta terus menerus disempurnakan oleh Bank Indonesia sebagai bank sentral atau banknya bank (banker’s bank). Dengan dibentuknya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada tahun 2011, fungsi pengaturan dan pengawasan yang bersifat ‘mikroprudensial’ dan terintegrasi — untuk mewujudkan sistem perbankan yang sehat secara menyeluruh maupun individual — secara resmi telah beralih ke lembaga ini pada 31 Desember 2013 (BI, 2013 Siaran Pers).

         Dalam hal permodalan (capital), Bank Indonesia — pada tahun 2012 lalu (PBI Nomor 14 Tahun 2012) — telah mengeluarkan aturan baru yang mengelompokkan kegiatan usaha bank umum berdasarkan modal inti yang dimiliki, yang disebut dengan istilah Bank Umum berdasarkan Kegiatan Usaha (BUKU), yaitu terdiri dari 4 kategori: BUKU 1, BUKU 2, BUKU 3 dan BUKU 4. Semakin tinggi modal inti bank, semakin tinggi BUKU dan semakin luas cakupan produk yang dapat diterbitkan atau aktivitas yang dapat dilakukan oleh bank. Peraturan ini kemudian dikonversi menjadi “Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 6/POJK.03/2016 tentang Kegiatan Usaha dan Jaringan Kantor Berdasarkan Modal Inti”. Menurut OJK (Booklet Perbankan Indonesia 2017 hal. 122), bahwa dengan beroperasi sesuai dengan kapasitas modalnya, bank dipercaya dapat memiliki ketahanan yang lebih baik dan akan lebih efisien karena kegiatannya terfokus pada produk dan aktivitas yang memang menjadi keunggulannya.

       Sebagaimana ditunjukkan Tabel 1.3 berikut, meskipun hanya ada empat bank yang termasuk dalam kelompok bank BUKU 4 yang masing-masing mempunyai modal inti di atas minimum Rp30 triliun, akan tetapi bank-bank dalam kelompok ini menguasai hampir separuh total aset bank umum konvensional tahun 2016 yang mencapai Rp 6.475 triliun.

TABEL 1.3: 
Jumlah dan Aset Bank Umum Konvensional Berdasarkan BUKU
Sumber: diolah dari Statistik Perbankan Indonesia (SPI) 2016

Keempat bank yang dimaksud adalah tiga bank berstatus badan usaha milik negara (BUMN): PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk, dan PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk, serta satu-satunya bank umum swasta nasional (BUSN), yakni PT Bank Central Asia Tbk. Bank-bank tersebut sudah tak asing lagi dikalangan masyarakat dengan kantor cabang yang tersebar luas diseluruh penjuru nusantara. Aset Bank Mandiri dan Bank BRI telah tembus seribu triliun rupiah, berada pada peringkat ke-1 dan ke-2 masing-masing sebesar Rp 1.038 triliun (15.43%) dan Rp 1.003 triliun (14.91%); berikutnya di posisi ke-3 dan ke-4, Bank BCA dan Bank BNI masing-masing sebesar Rp 676 triliun (10.05%) dan Rp 603 triliun (8.96%).


TABEL 1.4: 
Top 10 Bank Terbesar di Indonesia 
(Berdasarkan Aset Tahun 2016)

Sumber: Diolah dari Laporan Tahunan 2016 Bank Yang Bersangkutan dan SPI 2016

       Lebih dari itu, bank-bank BUKU 4 telah menjadi lembaga keuangan (financial institutions) terbesar di Indonesia saat ini, yang telah mengalami transformasi kegiatan usaha yang dulunya hanya sebagai bank saja, namun saat ini menjelma menjadi konglomerasi keuangan yang bukan hanya menjual produk dan jasa perbankan, melainkan juga menjual produk dan jasa keuangan lainnya. Bank-bank tersebut menjadi konglomerasi keuangan dengan memiliki anak perusahaan diperbankan syariah, perusahaan pembiayaan, asuransi, sekuritas, manajer investasi, dan lainnya (OJK, 2016, Pengawasan Mikro Prudensial hal.15).

       Di Bursa Saham Indonesia (BEI), bank-bank BUKU 4 ini juga termasuk dalam peringkat top 10 saham unggulan berdasarkan kapitalisasi pasar (market capitalization) — yaitu harga saham per lembar dikali jumlah saham beredar — dan tergolong sebagai saham-saham unggulan yang sangat aktif diperdagangkan sehari-hari. Bank BCA terbesar ke-3 dengan nilai pasar (market value) yang mencapai Rp 378 triliun sementara bank BUKU 4 lainnya atau grup setara (peer group); tiga Bank BUMN, yakni Bank BRI dan Bank Mandiri terbesar ke-7 dan ke-8, masing-masing dengan nilai pasar sebesar Rp 285 triliun dan Rp 267 triliun, diikuti Bank BNI di peringkat ke-9 sebesar Rp 102 triliun (Tabel 1.5).

TABEL 1.5:
 Top 10 Saham Terbesar di Bursa Efek Indonesia
(Berdasarkan Kapitalisasi Pasar Tahun 2016)

Sumber: diolah dari Statistik Bursa Efek Indonesia Tahun 2016

Kepemilikan saham-saham mereka tersebar luas pada ratusan investor dan diminati terutama oleh para investor lembaga (institutional investors) — seperti perusahaan investasi, dana pensiun, dan reksa dana — baik lokal maupun asing, sehingga menjadi pusat perhatian para analis keuangan, lembaga pemeringkat efek, dan hampir tak pernah lepas dari sorotan media cetak dan TV akan perkembangan dan prospek perusahaan-perusahaan tersebut ke depan. Laporan keuangan (financial statements) mereka selalu dicermati para investor dan calon investor, karena informasi dan fakta material mengenai kegiatan operasional perusahaan, kondisi keuangan (financial condition) dan kinerja keuangannya (financial performance) dapat dipergunakan untuk menjadi dasar pengambilan keputusan.


       Selain bermanfaat terutama untuk keperluan pihak investor serta pihak-pihak lain yang berkepentingan (stakeholders) di luar perusahaan seperti kreditor, analis keuangan dan regulator terkait — BI, OJK, dan LPS (Lembaga Penjaminan Simpanan), laporan keuangan juga merupakan sumber data penting dan informasi keuangan yang relevan untuk pemakai internal, yaitu pihak manajemen di dalam perusahaan itu sendiri. Bahwa salah satu tanggung jawab utama manajemen adalah untuk mencapai tujuan keuangan (financial objectives) perusahaan dan hal ini memerlukan: pertama, tetap memantau ukuran kinerja keuangan utama untuk setiap sasaran keuangan yang ditetapkan; kedua, menentukan penyebab penyimpangan dari ukuran dan mengambil tindakan korektif; (3) membandingkan kinerja aktual dengan ukuran kinerja utama (key perfomance measures); dan yang keempat, menyediakan informasi dan data untuk analisis kecenderungan jangka panjang (Crosson dan Needles, 2011, hal.556).

       Sementara laporan laba rugi (income statement) memberikan informasi mengenai profitabilitas, kinerja bank dari waktu ke waktu biasanya diukur dalam kaitannya dengan analisis rasio, yang menggunakan informasi yang terkandung dalam neraca (balance sheet) maupun laporan laba rugi (Casu, 2015, hal. 273). Analisis rasio mengidentifikasikan hubungan-hubungan kunci antara komponen-komponen laporan keuangan — aset, liabilitas, modal, dan laba — dan sebagai alat ukur (yardstick) yang berguna untuk mengevaluasi kegiatan operasional perusahaan, posisi dan kinerja keuangan serta dapat mengungkapkan bidang yang memerlukan penyelidikan lebih lanjut.

      Terdapat seperangkat rasio keuangan utama (key financial ratios) yang lazim digunakan sebagai alat ukur atau indikator untuk memantau seberapa baik kinerja bank dalam dimensi-dimensi yang sangat penting bagi kondisi atau kesehatan keuangan (financial health) dan profitabilitas usahanya. Rasio-rasio yang dimaksud mencakup antara lain: (1) CAR (capital adequate ratio), (2) NPL (non performing loan, (3) LDR (loan to deposit ratio), (4) NIM (net interest margin), (5) BOPO (biaya operasional terhadap pendapatan operasional), (6) ROA (return on assets) dan (7) ROE (return on equity). Rasio-rasio ini mengukur dan memungkinkan evaluasi dengan cepat terhadap aspek-aspek kunci yang menentukan kinerja bank seperti permodalan, risiko likuiditas, risiko kredit, dan proftabilitas.

       Secara tradisional, penggunaan analisis rasio berdasarkan data laporan keuangan perusahaan sering dikategorikan sebagai likuiditas (liquidity), solvabilitas (solvency), dan profitabilitas (profitability) (Weygandt, 2013, hal. 841). Ketiga aspek ini mempunyai keterkaitan satu sama lain. Kejadian yang berdampak negatif pada aspek likuiditas bank apabila tidak segara ditangani akan menimbulkan permasalahan lanjutan berupa masalah solvabilitas (Hadad, 2003, hal.3). Berlaku perimbangan (trade off) di antara likuiditas dan profitabiltas, solvabilitas dan profitabilitas, serta likuiditas dan solvabilitas (Casu, 2015, hal. 293-302). Profitabilitas adalah hasil akhir dari sejumlah kebijakan dan keputusan dan rasio profitabilitas menunjukkan akibat gabungan dari likuiditas, manajemen aset, serta utang terhadap hasil operasi. (Brigham dan Daves, 2007, hal. 259). Penurunan profitabilitas dan rasio likuiditas merupakan indikator kunci kemungkinan kegagalan (Crosson dan Needles, 2011, hal. 556).


      Sehubungan dengan itu keputusan-keputusan investasi (manajemen aset) dan pendanaan (manajemen liabilitas dan permodalan) perlu mempertimbangkan dilakukannya bauran keputusan keuangan (financial decision) yang simultan, terkordinasi, serta fleksibel, termasuk pengelolaan risiko likuiditas (liquidity risk), risiko kredit (credit risk) dan berbagai jenis risiko lainnya yang senantiasa melekat pada kegiatan usaha pokok bank atau fungsi intermediasi bank dalam upaya menghimpun dana simpanan (funding) dan memberikan pinjaman (lending) — keduanya merupakan komponen terbesar pada nerara bank: pinjaman (loan) atau kredit yang disalurkan pada sisi aset dan dana simpanan yang diterima pada sisi liabilitas.

       Terlepas dari ukuran, jenis dan karakteristik spesifik bisnis perbankan, pada intinya bank harus senantiasa mampu untuk memenuhi semua kewajiban-kewajiban keuangan jangka pendeknya (likuiditas) maupun kewajiban jangka panjang (solvabilitas) yang jatuh tempo serta mampu menghasilkan laba (profitabilitas) yang memadai atas dana-dana yang diinvestasikan pemiliknya (permodalan) dalam perusahaan pada tingkat risiko yang dapat diterima. Suatu bank dapat saja mengalami masalah likuiditas, solvabilitas dan atau operasional bank yang tidak menguntungkan, kecuali jika sumber-sumber daya keuangannya — aset, liabilitas, dan modal — dikelola dengan cara seefektif dan seefisien mungkin, serta dengan tetap mengedepankan prinsip kehati-hatian bank (prudential banking) dan penerapan manajemen risiko. Hasil gabungan dari semua keputusan manajemen dapat dilihat secara periodik ketika prestasi perusahaan dievaluasi melalui berbagai laporan keuangan dan analisis khusus (Helfert, 2001, hal. 4).

       Lalu bagaimanakah sesungguhnya dengan perkembangan prestasi atau kinerja keuangan bank BUKU 4 selama lima tahun terakhir ini (2012–2016)? Apakah upaya manajemen untuk mencapai tujuan profitabilatas bank sejalan dengan usaha mempertahankan kondisi keuangan perusahaan yang sehat? Mengapa satu perusahaan mempunyai kondisi dan kinerja keuangan yang relatif lebih baik daripada yang lain; sebaliknya, mengapa kondisi dan kinerja keuangan satu perusahaan relatif lebih buruk daripada yang lain? Pada banyak situasi, menurut Anthony dkk. (1984, hal.113) akan ada variabel-variabel kunci (key variables) atau faktor-faktor kunci sukses (key success factors) dalam organisasi perusahaan yang biasanya menunjukkan atau menentukan keberhasilan organisasi perusahaan. Berdasarkan latar belakang di atas, penulis tertarik untuk mencoba melakukan kajian perbandingan mengenai kinerja keuangan Bank BUKU 4 yang telah ‘go public’ tersebut dalam bentuk tesis yang berjudul “Analisis Perbandingan Kinerja Keuangan Bank BUKU 4 pada Bursa Efek Indonesia Tahun 2012–2016”.

1.2. Rumusan Masalah 


Sebagaimana telah dikemukakan, Bank Mandiri adalah bank yang memliki aset terbesar di Indonesia, kemudian diikuti oleh Bank BRI, Bank BCA dan Bank BNI. Data tingkat pertumbuhan tahunan majemuk (Compound Annual Growth Rate atau CAGR) komponen aset, modal inti, dan laba bersih (net income) untuk keempat bank ini periode tahun 2012-2016 dapat dilihat pada Tabel 1.6.

Dalam periode 2012 sampai dengan 2016, tercatat semua bank BUKU 4 menunjukkan pertumbuhan rata-rata tahunan (CAGR): Aset 11.09%, Modal Inti 20.03% dan Laba Bersih 6.39%; kecuali Bank Mandiri khususnya pada komponen laba bersihnya (net income), yaitu minus -1.80% (CAGR) dan minus -9% di tahun 2016 menjadi Rp 14.650 triliun dari Rp 16.014 triliun tahun 2012. Beberapa fakta menarik lainnya, dengan angka pertumbuhan sebesar 12.59% (CAGR), jelas terlihat tingkat pertumbuhan aset Bank BNI selama 5 tahun terakhir relatif tertinggi diantara bank BUKU 4 sementara aset Bank BCA mempunyai tingkat pertumbuhan relatif terendah, yaitu hanya sebesar 8.84% (CAGR) saja.


TABEL 1.6: 
CAGR Aset, Modal Inti dan Laba Bersih Bank BUKU 4







       Akan tetapi bila diamati pada komponen laba bersih (net income), justru Bank BCA berhasil mempetahankan tingkat pertumbuhan yang solid dan tertinggi yaitu CAGR laba bersihnya sebesar 11.98% dan naik 76% menjadi Rp 20.632 triliun di tahun 2016 dari Rp 11.718 triliun tahun 2012. Keadaan sebaliknya terjadi pada bank BRI; bank ini memiliki modal inti terbesar yaitu Rp 139.786 triliun di tahun 2016 dengan tingkat pertumbuhan 22.06% (CAGR) dan memiliki aset kedua terbesar setelah Bank Mandiri, namun kelihatannya relatif kurang sepadan dengan tingkat pertumbuhan laba bersihnya, yakni sebesar 7.20% (CAGR) saja menjadi Rp 26.228 triliun di tahun 2016 dari Rp 18.687 triliun tahun 2012, jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan Bank BCA dan Bank BNI.

       Keadaan ini memberikan gambaran umum dan indikasi awal bahwa kondisi dan kinerja keuangan bank BUKU 4 tersebut mempunyai cici-ciri atau karakteristik tertentu yang perlu ditelusuri lebih jauh lagi dan pendalaman yang seksama terkait dengan aspek permodalan (capital), risiko likuiditas (liquidity risk), risiko kredit (credit risk), dan profitabilitas (profitability). Sehubungan dengan hal-hal itu dan atas dasar studi literatur serta tinjauan hasil-hasil penelitian terdahulu yang dibahas tersendiri pada bagian Bab 2 (Landasan Teori), penelitian ini diarahkan untuk mendapatkan jawaban atas pernyataan masalah (problem statements) sebagai berikut:

       Apakah terdapat perbedaan yang signifikan kinerja keuangan Bank BUKU 4 ditinjau dari rasio keuangan: (1) CAR (Capital Adequacy Ratio), (2) LDR (Loan to Deposit Ratio), (3) NPL (Non Performing Loan), (4) BOPO (Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional), (5) NIM (Net Interest Margin), (6) ROA (Return On Asset), dan (7) ROE (Return on Equity)”?

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan untuk mencapai 2 (dua) tujuan berikut ini:         
(1) menganalisis kinerja keuangan Bank BUKU 4 periode tahun 2012 sampai 2016 dengan menggunakan 7 (tujuh) rasio keuangan bank yang mencakup aspek permodalan, risiko likuiditas, risiko kredit, dan profitabilitas; 
(2) membandingkan dan mengevaluasi kinerja Bank BUKU 4 berdasarkan kinerja industri perbankan sebagai standar perbandingan

1.4. Manfaat Penelitian


Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain sebagai berikut: 

(1) Dapat digunakan sebagai salah satu sumber informasi keuangan dalam pengambilan keputusan bagi berbagai pihak yang berkepentingan dengan perbankan BUKU 4, khususnya investor dan calon investor saham di Bursa Efek Indonesia (BEI).

(2) Memperkaya wawasan dalam bidang studi ilmu manajemen keuangan (financial management) terutama perbankan (banking).

(3) Dapat digunakan sebagai sumber referensi dan bahan kepustakaan bagi berbagai kalangan terutama untuk penelitian lebih lanjut tentang kinerja keuangan Bank BUKU 4 di Indonesia. 

No comments:

Post a Comment

Popular Posts