PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 11 /POJK.03/2016
TENTANG
KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM
BANK UMUM
Menimbang :
a. bahwa dalam rangka menciptakan sistem perbankan yang sehat dan mampu berkembang serta bersaing secara nasional maupun internasional, bank perlu meningkatkan kemampuan untuk menyerap risiko yang disebabkan oleh kondisi krisis dan/atau pertumbuhan kredit perbankan yang berlebihan;
b. bahwa dalam rangka meningkatkan kemampuan bank untuk menyerap risiko, diperlukan peningkatan kualitas dan kuantitas permodalan bank sesuai standar internasional;
c. bahwa peningkatan kualitas modal dilakukan melalui penyesuaian persyaratan komponen dan instrumen modal bank serta penyesuaian rasio-rasio permodalan;
d. bahwa dalam rangka meningkatkan kuantitas modal, bank perlu membentuk tambahan modal di atas persyaratan penyediaan modal minimum sesuai profil
risiko yang berfungsi sebagai penyangga (buffer) apabila terjadi krisis keuangan dan ekonomi yang dapat mengganggu stabilitas sistem keuangan;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum;
Mengingat :
1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM BANK UMUM.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri, yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional.
4. Perusahaan Anak adalah badan hukum atau perusahaan yang dimiliki dan/atau dikendalikan oleh Bank secara langsung maupun tidak langsung, baik di dalam maupun di luar negeri, yang melakukan kegiatan usaha di bidang keuangan, yang terdiri atas:
a. perusahaan subsidiari (subsidiary company) yaitu Perusahaan Anak dengan kepemilikan Bank lebih dari 50% (lima puluh persen);
b. perusahaan partisipasi (participation company) adalah Perusahaan Anak dengan kepemilikan Bank sebesar 50% (lima puluh persen) atau kurang, namun Bank memiliki pengendalian terhadap perusahaan;
c. perusahaan dengan kepemilikan Bank lebih dari 20% (dua puluh persen) sampai dengan 50% (lima puluh persen) yang memenuhi persyaratan:
1) kepemilikan Bank dan para pihak lainnya pada Perusahaan Anak masing-masing sama besar; dan
2) masing-masing pemilik melakukan pengendalian secara bersama terhadap Perusahaan Anak;
d. entitas lain yang berdasarkan standar akuntansi keuangan harus dikonsolidasikan, namun tidak termasuk perusahaan asuransi dan perusahaan yang dimiliki dalam rangka restrukturisasi kredit.
5. Pengendalian adalah pengendalian sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang mengatur mengenai penerapan manajemen risiko terintegrasi bagi konglomerasi keuangan.
6. Capital Equivalency Maintained Assets, yang selanjutnya disingkat CEMA, adalah alokasi dana usaha kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri yang wajib ditempatkan pada aset keuangan dalam jumlah dan persyaratan tertentu.
7. Internal Capital Adequacy Assessment Process, yang selanjutnya disingkat ICAAP, adalah proses yang dilakukan Bank untuk menetapkan kecukupan modal sesuai profil risiko Bank dan penetapan strategi untuk memelihara tingkat permodalan.
8. Supervisory Review and Evaluation Process, yang selanjutnya disingkat SREP, adalah proses kaji ulang yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan atas hasil ICAAP Bank.
9. Capital Conservation Buffer adalah tambahan modal yang berfungsi sebagai penyangga (buffer) apabila terjadi kerugian pada periode krisis.
10. Countercyclical Buffer adalah tambahan modal yang berfungsi sebagai penyangga (buffer) untuk mengantisipasi kerugian apabila terjadi pertumbuhan kredit perbankan yang berlebihan sehingga berpotensi mengganggu stabilitas sistem keuangan.
11. Capital Surcharge untuk Domestic Systemically Important Bank, yang selanjutnya disebut Capital Surcharge untuk D-SIB, adalah tambahan modal yang berfungsi untuk mengurangi dampak negatif terhadap stabilitas sistem keuangan dan perekonomian apabila terjadi kegagalan Bank yang berdampak sistemik melalui peningkatan kemampuan Bank dalam menyerap kerugian.
12. Risiko Kredit adalah risiko akibat kegagalan debitur dan/atau pihak lain dalam memenuhi kewajiban kepada Bank.
13. Risiko Pasar adalah risiko pada posisi neraca dan rekening administratif termasuk transaksi derivatif, akibat perubahan secara keseluruhan dari kondisi pasar, termasuk risiko perubahan harga option.
14. Risiko Operasional adalah risiko akibat ketidakcukupan dan/atau tidak berfungsinya proses internal, kesalahan manusia, kegagalan sistem, dan/atau adanya kejadian-kejadian eksternal yang mempengaruhi operasional Bank.
15. Trading Book adalah seluruh posisi instrumen keuangan dalam neraca dan rekening administratif termasuk transaksi derivatif yang dimiliki Bank dengan tujuan untuk:
a. diperdagangkan dan dapat dipindahtangankan dengan bebas atau dapat dilindung nilai secara keseluruhan, baik dari transaksi untuk kepentingan sendiri (proprietary positions), atas permintaan nasabah maupun kegiatan perantaraan (brokering), dan dalam rangka pembentukan pasar (market making), yang meliputi:
1) posisi yang dimiliki untuk dijual kembali dalam jangka pendek;
2) posisi yang dimiliki untuk tujuan memperoleh keuntungan jangka pendek secara aktual dan/atau potensi dari pergerakan harga (price movement); atau
3) posisi yang dimiliki untuk tujuan mempertahankan keuntungan arbitrase (locking in arbitrage profits);
b. lindung nilai atas posisi lainnya dalam Trading Book.
16. Banking Book adalah semua posisi lainnya yang tidak termasuk dalam Trading Book.
Pasal 2
(1) Bank wajib menyediakan modal minimum sesuai profil risiko.
(2) Penyediaan modal minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan menggunakan rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM).
(3) Penyediaan modal minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan paling rendah:
- a. 8% (delapan persen) dari Aset Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) bagi Bank dengan profil risiko Peringkat 1;
- b. 9% (sembilan persen) sampai dengan kurang dari 10% (sepuluh persen) dari ATMR bagi Bank dengan profil risiko Peringkat 2;
- c. 10% (sepuluh persen) sampai dengan kurang dari 11% (sebelas persen) dari ATMR bagi Bank dengan profil risiko Peringkat 3; atau
- d. 11% (sebelas persen) sampai dengan 14% (empat belas persen) dari ATMR bagi Bank dengan profil risiko Peringkat 4 atau Peringkat 5.
(4) Otoritas Jasa Keuangan berwenang menetapkan modal minimum lebih besar dari modal minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dalam hal Otoritas Jasa Keuangan menilai Bank menghadapi potensi kerugian yang membutuhkan modal lebih besar.
(5) Kewajiban pemenuhan modal mÃnimum sesuai profil risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan:
- a. pemenuhan modal mÃnimum posisi bulan Maret sampai dengan bulan Agustus didasarkan pada peringkat profil risiko posisi bulan Desember tahun sebelumnya;
- b. pemenuhan modal mÃnimum posisi bulan September sampai dengan bulan Februari tahun berikutnya didasarkan pada peringkat profil risiko posisi bulan Juni;
- c. dalam hal terjadi perubahan peringkat profil risiko di antara periode penilaian profil risiko, pemenuhan modal minimum didasarkan pada peringkat profil risiko terakhir.
Pasal 3
(1) Selain kewajiban penyediaan modal minimum sesuai profil risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Bank wajib membentuk tambahan modal sebagai penyangga (buffer) sesuai kriteria yang diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
(2) Tambahan modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
- a. Capital Conservation Buffer;
- b. Countercyclical Buffer; dan/atau
- c. Capital Surcharge untuk D-SIB.
(3) Besarnya tambahan modal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur:
- a. Capital Conservation Buffer ditetapkan sebesar 2,5% (dua koma lima persen) dari ATMR;
- b. Countercyclical Buffer ditetapkan dalam kisaran sebesar 0% (nol persen) sampai dengan 2,5% (dua koma lima persen) dari ATMR;
- c. Capital Surcharge untuk D-SIB ditetapkan dalam kisaran sebesar 1% (satu persen) sampai dengan 2,5% (dua koma lima persen) dari ATMR.
(4) Besarnya persentase Countercyclical Buffer sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b berdasarkan penetapan otoritas yang berwenang.
(5) Otoritas Jasa Keuangan menetapkan besarnya persentase Capital Surcharge untuk D-SIB sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c.
(6) Dalam menetapkan besar Capital Surcharge untuk D-SIB sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Otoritas Jasa Keuangan berkoordinasi dengan otoritas yang berwenang.
(7) Otoritas Jasa Keuangan dapat menetapkan persentase Capital Surcharge untuk D-SIB yang lebih besar dari kisaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c.
(8) Pemenuhan tambahan modal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dipenuhi dengan komponen modal inti utama (Common Equity Tier 1).
(9) Pemenuhan tambahan modal sebagaimana dimaksud pada ayat (8) diperhitungkan setelah komponen modal inti utama (Common Equity Tier 1) dialokasikan untuk memenuhi kewajiban penyediaan:
- a. modal inti utama minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3);
- b. modal inti minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2); dan
- c. modal minimum sesuai profil risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3).
Pasal 4
(1) Bank yang tergolong sebagai Bank Umum Kegiatan Usaha (BUKU) 3 dan BUKU 4 wajib membentuk Capital Conservation Buffer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf a.
(2) Kewajiban pembentukan Countercyclical Buffer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf b berlaku bagi seluruh Bank.
(3) Bank yang ditetapkan berdampak sistemik wajib membentuk Capital Surcharge untuk D-SIB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf c.
Pasal 5
(1) Otoritas Jasa Keuangan menetapkan Bank yang berdampak sistemik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3).
(2) Otoritas Jasa Keuangan berkoordinasi dengan otoritas yang berwenang dalam menetapkan Bank yang berdampak sistemik sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 6
(1) Kewajiban Bank untuk membentuk tambahan modal berupa Capital Conservation Buffer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf a berlaku secara bertahap mulai tanggal 1 Januari 2016.
(2) Pembentukan Capital Conservation Buffer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dipenuhi secara bertahap:
- a. sebesar 0,625% (nol koma enam ratus dua puluh lima persen) dari ATMR mulai tanggal 1 Januari 2016;
- b. sebesar 1,25% (satu koma dua puluh lima persen) dari ATMR mulai tanggal 1 Januari 2017;
- c. sebesar 1,875% (satu koma delapan ratus tujuh puluh lima persen) dari ATMR mulai tanggal 1 Januari 2018; dan
- d. sebesar 2,5% (dua koma lima persen) dari ATMR mulai tanggal 1 Januari 2019.
(3) Kewajiban Bank untuk membentuk tambahan modal berupa Countercyclical Buffer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf b mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2016.
(4) Kewajiban Bank untuk membentuk Capital Surcharge untuk D-SIB bagi Bank yang ditetapkan berdampak sistemik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf c mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2016.
(5) Metode perhitungan dan tata cara pembentukan Capital Surcharge untuk D-SIB diatur lebih lanjut dalam ketentuan Otoritas Jasa Keuangan.
(6) Otoritas Jasa Keuangan berkoordinasi dengan otoritas yang berwenang dalam menetapkan metode perhitungan dan tata cara pembentukan Capital Surcharge untuk D-SIB sebagaimana dimaksud pada ayat (5).
Pasal 7
Dalam hal Bank memiliki dan/atau melakukan Pengendalian terhadap Perusahaan Anak, kewajiban penyediaan modal minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan kewajiban pembentukan tambahan modal sebagai penyangga (buffer) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 berlaku bagi Bank baik secara individu maupun secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak.
Pasal 8
(1) Bank dilarang melakukan distribusi laba jika distribusi laba dimaksud mengakibatkan kondisi permodalan Bank tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 baik secara individu maupun secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak.
(2) Bank dikenakan pembatasan distribusi laba jika distribusi laba mengakibatkan kondisi permodalan Bank tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 baik secara individu maupun secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak.
(3) Bank wajib melaksanakan pembatasan distribusi laba sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Otoritas Jasa Keuangan menetapkan pembatasan distribusi laba sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
BAB II
MODAL
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 9
(1) Modal bagi Bank yang berkantor pusat di Indonesia terdiri atas:
a. modal inti (Tier 1) yang meliputi:
- 1. modal inti utama (Common Equity Tier 1);
- 2. modal inti tambahan (Additional Tier 1); dan
b. modal pelengkap (Tier 2).
(2) Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memperhitungkan faktor-faktor yang menjadi pengurang modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dan Pasal 22.
(3) Dalam perhitungan modal secara konsolidasi, komponen modal Perusahaan Anak yang dapat diperhitungkan sebagai modal inti utama, modal inti tambahan, dan modal pelengkap harus memenuhi persyaratan yang berlaku untuk masing-masing komponen modal sebagaimana diterapkan bagi Bank secara individu.
(4) Dalam perhitungan modal secara konsolidasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) untuk modal inti tambahan dan modal pelengkap yang diterbitkan oleh Perusahaan Anak bukan Bank harus:
a. memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (3); dan
b. memiliki fitur untuk dikonversi menjadi saham biasa atau mekanisme write down, dalam hal Bank secara konsolidasi berpotensi terganggu kelangsungan usahanya (point of non-viability).
(5) Fitur untuk dikonversi menjadi saham biasa atau mekanisme write down sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b dinyatakan secara jelas dalam dokumentasi penerbitan.
Bagian Kedua
Modal Inti
Pasal 11
(1) Modal inti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a terdiri atas:
a. modal inti utama (Common Equity Tier 1) yang mencakup:
- 1. modal disetor;
- 2. cadangan tambahan modal (disclosed reserve); dan
b. modal inti tambahan (Additional Tier 1).
(2) Bank wajib menyediakan modal inti paling rendah sebesar 6% (enam persen) dari ATMR baik secara individu maupun secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak.
(3) Bank wajib menyediakan modal inti utama paling rendah sebesar 4,5% (empat koma lima persen) dari ATMR baik secara individu maupun secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak.
Pasal 12
Instrumen modal disetor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf a angka 1 wajib memenuhi persyaratan:
- a. diterbitkan dan telah dibayar penuh;
- b. bersifat subordinasi terhadap komponen modal lain;
- c. bersifat permanen;
- d. tersedia untuk menyerap kerugian yang terjadi sebelum likuidasi maupun pada saat likuidasi;
- e. perolehan imbal hasil tidak dapat dipastikan dan tidak dapat diakumulasikan antar periode;
- f. tidak diproteksi maupun dijamin oleh Bank atau Perusahaan Anak;
- g. memiliki karakteristik pembayaran dividen atau imbal hasil:
1. berasal dari saldo laba dan/atau laba tahun berjalan;
2. tidak memiliki nilai yang pasti dan tidak terkait dengan nilai yang dibayarkan atas instrumen modal;
3. tidak memiliki fitur preferensi; dan
h. sumber pendanaan tidak berasal dari Bank penerbit baik secara langsung atau tidak langsung.
Pasal 13
Pembelian kembali saham (treasury stock) yang telah diakui sebagai komponen modal disetor, wajib memenuhi persyaratan:
- a. setelah jangka waktu 5 (lima) tahun sejak penerbitan;
- b. untuk tujuan tertentu;
- c. dilakukan sesuai peraturan perundang-undangan;
- d. telah memperoleh persetujuan Otoritas Jasa Keuangan; dan
- e. tidak menyebabkan penurunan modal di bawah persyaratan minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 7.
Pasal 14
(1) Cadangan tambahan modal (disclosed reserve) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf a angka 2 terdiri atas:
a. faktor penambah, yaitu:
1. agio yang berasal dari penerbitan instrumen yang tergolong sebagai modal inti utama (Common Equity Tier 1);
2. modal sumbangan;
3. cadangan umum;
4. laba tahun-tahun lalu;
5. laba tahun berjalan;
6. selisih lebih penjabaran laporan keuangan;
7. dana setoran modal, yang memenuhi persyaratan:
a) telah disetor penuh untuk tujuan penambahan modal namun belum didukung dengan kelengkapan persyaratan untuk dapat digolongkan sebagai modal disetor seperti pelaksanaan rapat umum pemegang saham maupun pengesahan anggaran dasar dari instansi yang berwenang;
b) ditempatkan pada rekening khusus (escrow account) yang tidak diberikan imbal hasil;
c) tidak boleh ditarik kembali oleh pemegang saham atau calon pemegang saham dan tersedia untuk menyerap kerugian; dan
d) penggunaan dana harus dengan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan;
8. waran yang diterbitkan sebagai insentif kepada pemegang saham Bank yang diakui sebesar 50% (lima puluh persen) dari nilai wajar dan harus memenuhi persyaratan:
- a) instrumen yang mendasari adalah saham biasa;
- b) tidak dapat dikonversi ke dalam bentuk selain saham; dan
- c) nilai yang diperhitungkan adalah nilai wajar dari waran pada tanggal penerbitannya;
9. opsi saham (stock option) yang diterbitkan melalui program kompensasi pegawai atau manajemen berbasis saham (employee atau management stock option) yang diakui sebesar 50% (lima puluh persen), dengan memenuhi persyaratan:
- a) instrumen yang mendasari adalah saham biasa;
- b) tidak dapat dikonversi ke dalam bentuk selain saham; dan
- c) nilai yang diperhitungkan adalah nilai wajar dari stock option pada tanggal pemberian kompensasi;
10. pendapatan komprehensif lainnya berupa potensi keuntungan yang berasal dari peningkatan nilai wajar aset keuangan yang dikategorikan sebagai kelompok tersedia untuk dijual; dan
11. saldo surplus revaluasi aset tetap;
b. faktor pengurang, yaitu:
1. disagio yang berasal dari penerbitan instrumen yang tergolong sebagai modal inti utama (Common Equity Tier 1);
2. rugi tahun-tahun lalu;
3. rugi tahun berjalan;
4. selisih kurang penjabaran laporan keuangan;
5. pendapatan komprehensif lainnya berupa:
- a) potensi kerugian yang berasal dari penurunan nilai wajar aset keuangan yang dikategorikan sebagai kelompok tersedia untuk dijual; dan
- b) kerugian atas pengukuran kembali atas program pensiun manfaat pasti;
6. selisih kurang antara PPA atas aset produktif dan Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) atas aset produktif;
7. selisih kurang antara jumlah penyesuaian terhadap hasil valuasi dari instrumen keuangan dalam Trading Book dan jumlah penyesuaian berdasarkan standar akuntansi keuangan; dan
8. PPA non-produktif.
(2) Dalam perhitungan laba rugi tahun-tahun lalu dan/atau tahun berjalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 4 dan angka 5 harus dikeluarkan dari pengaruh faktor:
- a. peningkatan atau penurunan nilai wajar atas kewajiban keuangan; dan/atau
- b. keuntungan atas penjualan aset dalam transaksi sekuritisasi (gain on sale).
Pasal 15
(1) Instrumen modal inti tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf b wajib memenuhi persyaratan:
a. diterbitkan dan telah dibayar penuh;
b. tidak memiliki jangka waktu dan tidak terdapat persyaratan yang mewajibkan pelunasan oleh Bank di masa mendatang;
c. pembelian kembali atau pembayaran pokok instrumen harus mendapat persetujuan pengawas;
d. tidak memiliki fitur step-up;
e. memiliki fitur untuk dikonversi menjadi saham biasa atau mekanisme write down dalam hal Bank berpotensi terganggu kelangsungan usahanya (point of non-viability) yang dinyatakan secara jelas dalam dokumentasi penerbitan atau perjanjian;
f. bersifat subordinasi pada saat likuidasi, yang secara jelas dinyatakan dalam dokumentasi penerbitan atau perjanjian;
g. perolehan imbal hasil tidak dapat dipastikan baik jumlah maupun waktu dan tidak dapat diakumulasikan antar periode;
h. tidak diproteksi maupun dijamin oleh Bank atau Perusahaan Anak;
i. tidak memiliki fitur pembayaran dividen atau imbal hasil yang sensitif terhadap Risiko Kredit;
j. dalam hal disertai dengan fitur opsi beli (call option), harus memenuhi persyaratan:
1. hanya dapat dieksekusi paling cepat 5 (lima) tahun setelah instrumen modal diterbitkan; dan
2. dokumentasi penerbitan harus menyatakan bahwa opsi hanya dapat dieksekusi atas persetujuan Otoritas Jasa Keuangan;
k. tidak dapat dibeli oleh Bank penerbit dan/atau Perusahaan Anak;
l. sumber pendanaan tidak berasal dari Bank penerbit baik secara langsung maupun tidak langsung;
m. tidak memiliki fitur yang menghambat proses penambahan modal pada masa mendatang; dan n. telah memperoleh persetujuan Otoritas Jasa Keuangan untuk diperhitungkan sebagai komponen modal.
(2) Eksekusi opsi beli (call option) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf j angka 1 dan angka 2 hanya dapat dilakukan oleh Bank sepanjang:
- a. telah memperoleh persetujuan Otoritas Jasa Keuangan;
- b. tidak menyebabkan penurunan modal dibawah persyaratan minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 7; dan
- c. digantikan dengan instrumen modal yang mempunyai kualitas sama atau lebih baik.
Pasal 16
(1) Dalam perhitungan rasio KPMM secara konsolidasi, kepentingan non-pengendali (non-controlling interest) wajib diperhitungkan sebagai modal inti utama kecuali terdapat bagian dari kepentingan non-pengendali yang tidak sesuai dengan persyaratan komponen modal inti utama.
(2) Kepentingan non-pengendali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperhitungkan dalam modal inti utama secara konsolidasi apabila kepemilikan Bank pada Perusahaan Anak lebih dari 50% (lima puluh persen) dan memenuhi persyaratan:
- a. Perusahaan Anak berupa Bank;
- b. terdapat keterkaitan atau afiliasi antara pemegang saham non-pengendali pada Perusahaan Anak dengan Bank; dan
- c. terdapat komitmen dari pemegang saham non-pengendali pada Perusahaan Anak untuk mendukung modal kelompok usaha Bank yang dinyatakan dalam surat pernyataan atau keputusan rapat umum pemegang saham Perusahaan Anak.
Pasal 17
(1) Modal inti utama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a angka 1 diperhitungkan dengan faktor pengurang berupa:
- a. perhitungan pajak tangguhan (deferred tax);
- b. goodwill;
- c. aset tidak berwujud;
- d. seluruh penyertaan Bank yang meliputi:
1. penyertaan Bank kepada Perusahaan Anak kecuali penyertaan modal sementara Bank kepada Perusahaan Anak dalam rangka restrukturisasi kredit;
2. penyertaan kepada perusahaan atau badan hukum dengan kepemilikan Bank lebih dari 20% (dua puluh persen) sampai dengan 50% (lima puluh persen) namun Bank tidak memiliki Pengendalian; dan
3. penyertaan kepada perusahaan asuransi;
e. kekurangan modal (shortfall) dari pemenuhan tingkat rasio solvabilitas minimum (Risk Based Capital atau RBC minimum) pada perusahaan asuransi yang dimiliki dan dikendalikan oleh Bank;
f. eksposur sekuritisasi;
g. faktor pengurang modal inti utama lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22.
(2) Faktor pengurang modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dan huruf e tidak diperhitungkan lagi dalam ATMR untuk Risiko Kredit.
Bagian Ketiga
Modal Pelengkap
Pasal 18
Modal pelengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf b hanya dapat diperhitungkan paling tinggi sebesar 100% (seratus persen) dari modal inti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a.
BAB III
ASET TERTIMBANG MENURUT RISIKO (ATMR)
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 27
ATMR yang digunakan dalam perhitungan modal minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) dan perhitungan pembentukan tambahan modal sebagai penyangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) terdiri atas:
- a. ATMR untuk Risiko Kredit;
- b. ATMR untuk Risiko Operasional; dan
- c. ATMR untuk Risiko Pasar.
Pasal 28
(1) Setiap Bank wajib memperhitungkan ATMR untuk Risiko Kredit dan ATMR untuk Risiko Operasional.
(2) Selain memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank yang memenuhi kriteria tertentu wajib memperhitungkan ATMR untuk Risiko Pasar.
Pasal 29
Kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) adalah:
a. Bank yang secara individu memenuhi salah satu kriteria:
1. Bank dengan total aset sebesar Rp10.000.000.000.000,00 (sepuluh triliun rupiah) atau lebih;
2. Bank yang melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing dengan posisi instrumen keuangan berupa surat berharga dan/atau transaksi derivatif dalam Trading Book sebesar Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah) atau lebih; atau
3. Bank yang tidak melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing dengan posisi instrumen keuangan berupa surat berharga dan/atau transaksi derivatif suku unga dalam Trading Book sebesar Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah) atau lebih, dan/atau
b. Bank yang secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak memenuhi salah satu kriteria:
1. Bank yang melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing yang secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak memiliki posisi instrumen
keuangan berupa surat berharga termasuk instrumen keuangan yang terekspos risiko ekuitas dan/atau transaksi derivatif dalam Trading Book dan/atau instrumen keuangan yang terekspos risiko komoditas dalam Trading Book dan Banking Book sebesar Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah) atau lebih;
2. Bank yang tidak melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing namun secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak memiliki posisi instrumen keuangan berupa surat berharga termasuk instrumen keuangan yang terekspos risiko ekuitas dan/atau transaksi derivatif dalam Trading Book dan/atau instrumen keuangan yang terekspos risiko komoditas dalam Trading Book dan Banking Book sebesar Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah) atau lebih;
c. Bank yang memiliki jaringan kantor dan/atau Perusahaan Anak di negara lain maupun kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri.
Pasal 30
Aset keuangan yang pada saat pengakuan awal ditetapkan sebagai aset keuangan yang diukur pada nilai wajar melalui laporan laba rugi dan kredit yang diklasifikasikan dalam kelompok diperdagangkan dikecualikan dari cakupan Trading Book.
Pasal 31
Surat berharga dalam Trading Book hanya mencakup surat berharga yang diklasifikasikan dalam kelompok diperdagangkan.
Pasal 32
Bank yang setelah melakukan merger, konsolidasi atau akuisisi memenuhi kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 paling sedikit pada 3 (tiga) periode pelaporan bulanan dalam 6 (enam) bulan pertama setelah merger, konsolidasi atau akuisisi dinyatakan efektif, wajib memperhitungkan Risiko Pasar dalam perhitungan rasio KPMM sejak bulan ke-7 (tujuh) setelah merger, konsolidasi atau akuisisi dinyatakan efektif.
Pasal 33
Bank yang telah memenuhi kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dan Bank yang setelah melakukan merger, konsolidasi atau akuisisi emenuhi kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 wajib tetap memperhitungkan Risiko Pasar dalam kewajiban penyediaan modal minimum walaupun selanjutnya Bank tidak lagi memenuhi kriteria tertentu.
Bagian Kedua - Risiko Kredit
Bagian Ketiga - Risiko Operasional
Bagian Keempat - Risiko Pasar
BAB IV
Internal Capital Adequacy Assessment Process (ICAAP)
dan Supervisory Review and Evaluation Process (SREP)
BAB V
PELAPORAN
BAB VI
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 53
Bank dilarang melakukan perdagangan atas aset keuangan dalam kategori tersedia untuk dijual, yang dilakukan dengan pola menyerupai perdagangan atas aset keuangan dalam kategori diperdagangkan:
- a. dalam jumlah yang signifikan; dan/atau
- b. dalam frekuensi yang tinggi.
Pasal 54
Otoritas Jasa Keuangan berdasarkan pertimbangan kondisi perekonomian dan stabilitas sistem keuangan, dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian, berwenang menetapkan:
- a. bobot risiko atas ATMR yang berbeda dengan bobot risiko yang diatur dalam peraturan pelaksanaan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini; dan
- b. besaran tambahan modal sebagai penyangga (buffer) yang berbeda dengan besaran tambahan modal yang diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 11 /POJK.03/2016
TENTANG
KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM BANK UMUM
I. UMUM
Pengalaman krisis keuangan dan ekonomi yang terjadi di berbagai negara pada beberapa tahun belakangan menunjukkan bahwa kejatuhan Bank antara lain disebabkan oleh tidak memadainya kualitas dan kuantitas permodalan Bank untuk mengantisipasi risiko yang dihadapi.
Dalam rangka meningkatkan kualitas dan kuantitas modal Bank sehingga Bank lebih mampu menyerap potensi kerugian baik akibat krisis keuangan dan ekonomi maupun karena pertumbuhan kredit yang berlebihan, persyaratan komponen dan instrumen modal serta perhitungan kecukupan modal Bank perlu disesuaikan dengan standar internasional. Standar Internasional yang menjadi acuan adalah “Global Regulatory Framework for More Resilient Banks and Banking System” yang lebih dikenal dengan Basel III.
Untuk meningkatkan kualitas permodalan Bank, komponen dan persyaratan instrumen modal disesuaikan mengacu pada standar internasional.
Komponen modal inti (Tier 1) Bank terutama harus didominasi oleh instrumen modal berkualitas tinggi, yaitu saham biasa (common stocks) dan saldo laba yang merupakan bagian dari modal inti utama atau Common Equity Tier 1.
Komponen modal inti lainnya yaitu modal inti tambahan (Additional Tier 1) ditingkatkan kualitasnya menjadi hanya dapat berupa instrumen keuangan yang bersifat subordinasi dengan pembayaran dividen atau imbal hasil bersifat non-kumulatif serta memenuhi kriteria tertentu. Komponen modal inti tambahan merupakan penyempurnaan dari komponen modal inovatif yang sebelumnya merupakan bagian dari modal inti Bank.
Sejalan dengan peningkatan kualitas modal inti, komponen dan persyaratan instrumen modal pelengkap (Tier 2) juga ikut disesuaikan, antara lain dengan menghapuskan kategori Upper Tier 2 dan Lower Tier 2.
Komponen modal pelengkap tambahan (Tier 3) yang sebelumnya dapat diterbitkan hanya untuk perhitungan modal untuk Risiko Pasar, dengan berlakunya Basel III menjadi dihapuskan. Untuk memastikan kualitas atau tingkat permodalan Bank memadai, dilakukan penyempurnaan rasio-rasio permodalan yang meliputi rasio modal inti dan rasio modal inti utama.
Bank diwajibkan untuk membentuk tambahan modal berupa Capital Conservation Buffer dan Countercyclical Buffer, dan Bank yang dianggap berpotensi sistemik wajib membentuk tambahan modal berupa Capital Surcharge. Tujuan pembentukan tambahan modal tersebut adalah sebagai penyangga (buffer) untuk menyerap risiko yang disebabkan oleh kondisi krisis dan/atau pertumbuhan kredit perbankan yang berlebihan. Kewajiban pembentukan tambahan modal diterapkan secara bertahap sejak tahun 2016 untuk memberikan waktu yang cukup kepada Bank dalam membentuk tambahan modal tersebut.
Sehubungan dengan hal-hal tersebut, perlu menetapkan ketentuan mengenai Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum dalam suatu Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
---------------------
Peraturan Terkait:
---------------------
Peraturan Terkait:
PBI
No.14/26/PBI/2012 tanggal 27 Desember 2012 tentang Kegiatan Usaha dan Jaringan
Kantor Berdasarkan Modal Inti Bank.
POJK
No.6/POJK.03/2016 tanggal 27 Januari 2016 tentang Kegiatan Usaha dan Jaringan
Kantor Berdasarkan Modal Inti Bank
POJK
No.34/POJK.03/2016 tanggal 26 September 2016 tentang Perubahan atas POJK
No.11/POJK.03/2016 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum
POJK
No.38/POJK.03/2016 tanggal 7 Desember 2016 tentang Penerapan Manajemen Risiko dalam
Penggunaan Teknologi Informasi oleh Bank Umum
Bank Indonesia, Surat Edaran No. 3 Tahun 2001 Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan dan Bulanan Bank Umum serta Laporan tertentu yang disampaikan kepada Bank Indonesia
_____________,
_____________, Lampiran Surat Edaran No. 3 Tahun 2001 Pedoman Perhitungan Modal
_____________, Lampiran Surat Edaran No. 3 Tahun 2001 Pedoman Perhitungan Modal
_____________, Lampiran Surat Edaran No. 3 Tahun 2001 Pedoman Perhitungan Rasio Keuangan
_____________, Lampiran Surat Edaran No. 3 Tahun 2001 Pedoman Perhitungan Aktiva Tertimbang Menurut Risiko
_____________, Pedoman Perhitungan Rasio
Kewajiban Penyediaan Modal
Minimum
Kewajiban Penyediaan Modal
Minimum
_____________, Surat Edaran No. 15 Tahun 2013 Penilaian Kualitas Aset Bank Umum